Kebijakan Publik dan Kebijakan Kesehatan
Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksud untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah negera dan pembangunan bangsa. Batasan tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye (1975), dalam Winarno (2007), yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever governments choose to do or not to do)”.
Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan dan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas lainnya umum lainnya (air bersih, listrik) (Suharto 2005). Beberapa konsep kunci yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan publik sebagaimana yang dikemukakan oleh Young dan Quinn dalam Dye (1975), dalam Winarno (2007) antara lain:
Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah dan perwakilan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis, dan financial untuk melakukannya.
Kebijakan publik merupakan sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespons masalah atau kebutuhan konkret yang berkembang dimasyarakat. Oleh karena itu, pada umumnya kebijakan publik merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial.
Merupakan seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yag dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak.
Juga merupakan sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Pengertian kebijakan publik diatas juga selaras dengan batasan yang dikemukakan oleh Knoepfel et all (2007) dalam Solichin (2012), yaitu : Serangkaian tindakan atau keputusan sebagai akibat dari interaksi terstruktur dan berulang di antara berbagai aktor, pihak publik/pemerintah, swasta, privat yang terlibat berbagai cara merespons, mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang secara politik didefinisikan sebagai masalah publik.
Kebijakan Kesehatan
Secara sederhana kebijkan kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Urgensi kebijakan kesehatan sebagai bagian dari kebijakan publik semakin menguat mengingat karakteristik unik yang ada pada sektor kesehatan sebagai berikut:
Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hiudp orang banyak dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak dasar setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya setiap individu yanpa terkecuali berhak mendapatkan askes dan pelayanan kesehatan yang layak apa pun kondisi dan status finansialnya.
Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi “masyarakat-tenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola paternalistik. Artinya, masyarakat atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki posisi tawar yang baik, bahkan hamper tanpa daya tawar atau pun daya pilih.
Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi rakyat. Siapapun ia baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika jatuh sakit tentu akan membutuhkan pelayanan kesehatan.
Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitias, yaitu keuntungan yang dinikmati atau kerugian yang di derita oleh sebagian masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai contoh, jika disuatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat tidak menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang nyamuk Aides aigepty, maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagaian masyarakat tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat lain yang telah menerapkan perilaku hidup bersih.
Dengan karakteristik kesehatan tersebut, pemerintah wajib berperan membuat kebijakan mengenai ssektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan bagi setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO membedakan peran negera dan pemerintah sebagai pelaksana dibidang kesehatan, yaitu pengarah (stewardship atau oversight), regulator ( yang melaksanakan kegiatan regulasi, ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan yang dikenakan regualsi (pemain). Fungsi stewardship atau oversight ini terdiri dari tiga aspek utama :
Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem kesehatan.
Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player) dalam sektor kesehatan.
Menetapkan perencaaan strategic bagi seluruh sistem kesehatan.
World Health Organization (WHO) menetapkan delapan elemen yang harus tercakup dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan kesehatan, yaitu:
Pendekatan holistik, pendekatan dalam kebijakan kesehatan tidak dapat semata-mata mengandalkan upaya kuratif, tetapi harus lebih mempertimbangkan upaya preventif, promotif, dan rehabilitatif.
Partisipatori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan, karena melalui partisipasi masyarakat dapat dibangun collectiveaction (aksi bersama masyarakat) yang akan menjadi kekuatan pendorong dalam pengimplemetasian kebijakan dan penyelesaian masalah.
Kebijakan publik yang sehat, kebijakan harus diarahkan untuk mendukung terciptanya pembangunan kesehatan yang kondusif dan berorientasi kepada masyarakat.
Ekuitas, yaitu terdapat distribusi yang merata dari layanan kesehatan. Artinya negara wajib menjamin pelayanan kesehatan setiap warga negara tanpa memandang status ekonomi dan status sosialnya.
Efisiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi proaktif dengan mengoptimalkan biaya dan teknologi.
Kualitas, dalam menghadapi persaingan pasar bebas dan menekankan pengaruh globalisasi dalam sektor kesehatan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setara dengan pelayanan kesehatan bertaraf internasional.
Pemberdayaan masyarakat, merupakan upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Terutama pada daerah terpencil dan daerah perbatasan untuk mengoptimalkan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Self –reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin dapat memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kapasitas kesehatan di wilayah sendiri.
Sebuah evaluasi telah dilakukan terhadap kualitas formulasi kebijakan publik di dinas kesehatan Inggris, untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan atau kesenjangan yang harus diperbaiki pada prosesnya. Salah satu evaluasinya adalah wawancara yang mendalam yang dilakukan hingga 26 kali dan berlangsung hampir sepanjang tahun 2004.
Wawancara mendalam bertujuan menggali informasi tentang proses penetapan kebijakan dari sisi aktor atau pelaku, ekspektasi mereka serta interaksi yang terjadi antara stakeholder. Studi tersebut kemudia berakhir dengan kesimpulan bahwa telah terjadi praktik formulasi kebijakan terbaik.
Sistem dan Komponen Kebijakan
Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organic untuk mencapai keluaran yang diinginkan secara efektif dan efisiensi (John Mc Manama). Menurut Dunn (1994), sistem kebijakan (policy system) mencakup hubungan timbal balik dari tiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan.
Penjelasan lebih lanjut tentang sistem dan komponen kebijakan publik dikemukakan oleh William Dunn (1994) sebagai berikut.
Isi kebijakan (Policy Content)
Secara umum isi kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang memiliki standar isi sebagai berikut.
Pernyataan tujuan: mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa dampak yang diharapkan.
Ruang lingkup: menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan.
Durasi waktu yang efektif: mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan.
Bagian pertanggungjawaban: mengindikasikan siapa individu atau organisasi mana yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan.
Pernyataan kebijakan: mengindikasikan aturan-aturan khusus atau modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan tersebut.
Latar belakang: mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan kebijakan tersebut, yang kadang-kadang disebut sebagai faktor-faktor motivasional.
Definisi: menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi bagi istilah an konsep dalam dokumen kebijakan.
Aktor atau Pemangku Kepentingan Kebijakan (Policy Stakeholder)
Pemangku kepentingan kebijakan atau aktor kebijakan adalah individu atau kelompok yang berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut. Pemangku kepentingan kebijakan tersebut bisa terdiri dari sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintahan, dan semacamnya.
Lingkungan Kebijakan (Policy Environment)
Lingkungan kebijakan merupakan latar khusus dimana sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh pemangku kepentingan kebijakan serta kebijakan publik itu sendiri.
Istilah lingkungan dalam segitiga sistem kebijakan yang dijelaskan di atas, dalam terminologi yang dikembangkan Walt dan Gilson (1994) disebut sebagai konteks. Konteks ini memiliki peran yang hampir sama dengan lingkungan kebijakan sebagaimana dijelaskan oleh Dunn, yakni faktor yang memberi pengaruh dan dipengaruhi oleh unsur lain dalam sistem kebijakan.
Segitiga Kebijakan
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan sebuah representasi dari kesatuan kompleksitas hubungan antara unsur-unsur kebijakan (konten, proses, konteks, dan aktor) yang dalam interaksinya saling memberi pengaruh. Salah satu unsur dari segitiga kebijakan, yaitu aktor-aktor kebijakan (baik sebagai individu atau kelompok) misalnya dipengaruhi oleh konteks dimana mereka bekerja atau menjalankan perannya. Konteks merupakan rekayasa atau hasil interaksi dinamis dari banyak faktor seperti ideologi atau kebijakan yang berubah-ubah, sejarah, dan nilai budaya. Proses pengembangan kebijakan: bagaimana sebuah isu strategis atau masalah publik diangkat dan menjadi penetapan agenda dalam formulasi kebijakan serta nilai, ekspektasi atau kepentingan aktor-aktor tersebut menjelaskan tentang konteks dalam segitiga kebijakan publik. Oleh karena itu, segitiga kebijakan bermanfaat untuk dapat secara sistematis menganalisis dan mengetahui tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan.
Hierarki Kebijakan Kesehatan
Setiap kebijakan memiliki otoritas atau kewenangannya sendiri.Sejauh mana kewenangan suatu kebijakan dapat diterapkan tergantung dari posisi kebijakan tersebut dalam sebuah hierarki kebijakan. Setiap kebijakan harus memiliki konsistensi dan koherensi dengan kebijakan pada tingkat kewenangan yang lebih luas. Dengan begitu, tidak akan terjadi benturan kebijakan yang dapat menyebabkan sebuah kebijakan tidak dapat dieksekusi.
Berdasarkan Sistem Politik
Menurut konsep Trias Politica, hierarki dalam kebijakan meliputi:
Kebijakan public tertinggi yang dibuat oleh legislatif sebagai representatif dari publik, contoh pembuatan UUD.
Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerja sama antara legislatif dengan eksekutif. Contohnya adalah peraturan daerah di tingkat provinsi.
Kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, yaitu kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan kebijakan public yang bersifat umum yang dibuat legislatif (UUD) dan yang melalui kerja sama dengan eksekutif (UU).
Indonesia memiliki hierarki dasar hokum yang harus ditaati dan menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan public di Indonesia, mengacu pada UU NO.12 Tahun 2011 mengenai Pembentuka Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
Produk Perundangan
Undang-Undang
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hak ikhwal kepentingan yang memaksa.
Peraturan Pemerintah
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden.
Peraturan Daerah
Peraturan perundang-undangan yang disusun oleh DPRD (Tingkat I dan II) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Berdasarkan Wilayah Geografis Otoritas Pembuat Kebijakan
Kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah memiliki kewenangan berdasarkan wilayah kerja tertentu. Wilayah kerja tersebut biasanya terkait dengan wilayah geografis otoritas pembuat kebijakan. Contohnya kebijakan nasional yang berarti berlaku untuk seluruh penduduk dan sistem pemerintahan dibawah pemerintahan pusat negara, kebijakan provinsi yang berarti harus diimplementasikan pada seluruh pemerintahan di provinsi terkait, kota/kabupaten serta level pemerintahan yang lebih rendah berikutnya.
Berdasarkan Isi, Waktu, dan Prioritas Penetapan Kebijakan
Salah satu dasar dalam menentukan hierarki kebijakan dapat dibedakan melalui isi dari kebijakan tersebut:
Kebijakan Utama, adalah kebijakan dasar yang belum diturunkan.
Kebijakan Turunan, yang telah diturunkan dari sebuah kebijakan utama. Misalnya, kebijakan penangulangan angka kematian ibu dapat diturunkan menjadi kebijakan peningkatan gizi ibu hamil. Selain itu, kebijakan juga dapat dibedakan berdasarkan waktu antara lain:
Kebijakan Jangka Panjang
Berdurasi lebih dari lima tahun misalnya dua puluh lima tahun, biasanya dibuat di tingkat nasional, misalnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) bidang kesehatan.
Kebijakan Jangka Menengah
Berdurasi antara lima hingga sepuluh tahun, bias dibuat di tingkat provinsi maupun kabupaten kota, misalnya Renstra (Rencana Strategis).
Kebijakan Jangka Pendek
Kebijakan Jangka Pendek memiliki durasi sekitar satu tahun.Biasanya berupa program yang menjadi implementasi dari kebijakan pada hierarki lebih tinggi.
Kebijakan Kesehatan di Beberapa Negara
Inggris adalah salah satu negara anggota Uni Eropa yang mempunyai model layanan kesehatan yang dikagumi dunia. Inggris tetap dapat memelihara akses layanan kesehatan bebas biaya dan pada saat yang sama mengembangkan ekonomi terbuka. Kondisi tersebut bertentangan dengan pendapat umum bahwa dengan ekonomi terbuka membuat layanan kesehatan menjadi tidak bisa disediakan. Layanan kesehatan Inggris, yang dinamai national Health Service (NHS), ditetapkan dengan National Health Act (1948).
Semua jenis layanan kesehatan adalah cuma-cuma, dokter dan tenaga medis lainnya pun dibiayai oleh negara.Di setiap dukuh (Country) atau di setiap kotapraja (municipalities) pasti ada layanan oleh tenaga medis umum (atau yang disebut general practitioners) dan dengan fasilitas umum (primary care).Di Indonesia dapat dianalogikan dengan puskesmas tapi dalam jumlah yang lebih banyak dan tidak harus berupa klinik (Tim Peneliti PSIK, 2008).
Namun demikian, sejak awal pendirian NHS, cukup sulit untuk menjaga keseimbangan pembiaan kesehatan di inggris. Selain karena ‘pemyakit juga berkembang’, tingkat konsumsi masyarakat pasti akan yerus naik dengan adanya layanan yang tersedia. Salah satu arsitek pemting negara kesejahteraan inggris, Aneurin Bevan, berujar bahwa konsumsi kesehatan adalah faktor yang membuat keseimbangan keuangan negara goyah.jadi, yang dilakukan inggris adalah mengembangkan model asuuransi dan pemajuan ekonomi ( karena biaya kesehatan adalah hasil dai revenue negara). Pengembangan ini sampai sekarang cukup berhasil.
Perbandingan berikut memaparkan model layanan kesehatan di beberapa negara (lihat tabel 2.1).
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, masalah kesehatan dan kependudukan serta tingkat konsumsi atas layanan kesehatan, maka presentase anggaran kesehatan atas GDP (gross domestic product) inggris mengalami peningkatan sejak NHS mulai ditetapkan dan berjalan.
Selain dari inggris, kita juga dapat belajar dari kuba. Di kuba, kebijakan kesehatan adalah sesuatu yang dianggap sangat penting sehingga pemerintahnya memastikan bahwa rakyat mendapatkan hak yang sama dalam pelayanan kesehatan. Hasilnya, angka kematian penduduknya berhasil turun dari 60 ke 14 per 1.000 dalam kurun waktu antara tahun 1954-1980 (barker, 1996).
Tabel 2.1. Perbandingan Model Layanan Kesehatan di Beberapa Negara
Kriteria
General Taxation
(Inggris)
Social Insurance
(Germany)
Private Insurance
(Amerika Serikat)
Makro Efisiensi
Global, anggaran dengan tunai terbatas
Control biaya kuat.
Sistem yang bergantung pada permintaan control biayalemah.
Anggaran global dengan control biaya yang kuat.
Transparansi pembayaran yang meningkatkan kesadaran pengguna/ pembayar
Bergantung pada permintaan dan tidak ada anggaran global.
Kontrol biaya lemah
Mikro Efisiensi
Biaya administrasi kecil
Intensif kerja bergantung pada bentuk perpajakan
Asuransi berlapis dan dana orang sakit meningkatkan biaya administrasi
Pajak bagi tenaga kerja (tax on employment)
Asuransi berlapis membuat biaya transaksi dan administrasi menjadi tinggi
Asuransi berdasar tenaga-kerja menjadi pajak bagi tenaga kerja
Tingkat Kesetaraan (Equity)
Mencakup semua warga tanpa terkecuali
Pembayaran terkait dengan kemampuan membayar sebagaimana ditetapkan melalui sistem pajak
Cakupan hampir universal (near to universal coverage)
Pembayaran terkait dengan kemampuan untuk membayar
Dapat lebih atau kurang progesif daripada sistem berdasar pajak (tax based system)
Ada jurang besar dalam soal cakupan
Pungutan/ kontribusi berdasarkan tingkat risiko dan bukan kemampuan membayar. Lebih tinggi risiko, lebih tinggi pembayaran
Pilian (choice)
-Tidak ada pilihan dalam soal tingkat kontribusi
- Pilihan sedikit dalam soal tingkat pungutan/ kontribusi, tetapi pada dasarnya ada beberapa pilihan antara penyedia asuransi
- Banyak pilihan dalam soal asuransi premium (tingkat atas) dan paket tunjangan/ manfaat yang terkait.
Transparansi
Kaitan antara pajak pembayaran dengan pengeluaran dalam layanan kesehatan
Ada pajak yang di patok (earmarked) menjadi sebuah kaitan antara pembayaran dan pengeluaran dalam layanan kesehatan
Kaitan yang amat erat pembayaran dengan tunjangan/ manfaat individu.
Sumber: Diadaptasi dari Robinson, et al. (1994)
Kebijakan Kesehatan di Indonesia
Reformasi Kesehatan dan Perubahan Struktur Kementerian Kesehatan
Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan Tujuh Reformasi Pembangunan Kesehata yaitu: 1) revitalisasi pelayanan kesehatan, 2) ketersediaan, distribusi, retensi, dan mutu sumber daya manusia, 3) ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan, 4) jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi, dan 7) world class health care.
Dalam upaya pelayanan kesehatan pada tahun 2011, diutamakan pelayanan berbasis masyarakat dengan menekankan upaya promotif dan preventif. Tidak mungkin melakukan pelayanan kesehatan menunggu orang sampai jatuh sakit, karena hal itu akan menghabiskan biaya yang besar. Selain itu, juga menekankan pencegahan penyakit tidak menular yang disebabkan pola makan dan pola hidup yang tidak sehat, tanpa meninggalkan pengendalian penyakit menular yang masih belum hilang. Peningkatan pelayanan kesehatan primer dan rujukan di rumah sakit daerah maupun pusat juga menjadi upaya penting lainnya.Untuk pemerataan kebutuhan tenaga kesehatan secara elektronik, sehingga dapat diketahui seberapa besar kebutuhan baik jumlah maupun jenisnya, dengan harapan tujuan pemenuhan kebutuhan SDM Kesehatan dapat dilakukan secara cepat. Untuk memenuhi kebutuhan SDM jangka pendek dilaksanakan program sister hospitals, yaitu program kerja samaantara rumah sakit yang lemah dengan rumah sakit yang lebih maju, sehingga terjadi proses pembelajaran tenaga kesehatan, sedangkan dalam jangka menengah, dilakukan program dokter plus yaitu dokter umum diberi keterampilan tambahan spesialis. Program dokter plus ini diutamakan di wilayah Indonesia Timur. Program jangka panjang dengan memberikan beasiswa dokter dari daerah untuk mengikuti pendidikan spesialis
Dalam memantapkan posisi obat generic akan diupayakan peningkatan pengawasan agar mutu tetap terjaga, harga terjangkau, dan distribusi merata. Untuk mendukung monitoring penggunaaan obat generic akan digulirkan E-logistic. Selain itu, juga diselenggarakan E-Prescription untuk mengawasi penulisan resep obat generic oleh dokter di pelayanan kesehatan pemerintah. Untuk memantapkan program jaminan kesehatan dasar, diupayakan sistem pembiayaan menjadi satu sistem nasional, dengan menerapkan paket benefit dasar, perhitungan biaya dan besaran premi yang sama, baik yang di bayar PT Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dan PT Jamsostek, sehingga tidak ada perbedaan pelayanan kesehatan. Untuk mendukung program tersebut, telah ditetapkan UU tentang Badan Pengelolah Jaminan Sosial (BPJS) beserta kelengkapan dasar hukum dan pedomannya. Tahun 2011 diberlakukan program jaminan persalinan (Jampersal) yang merupakan pelayanan paket kesehatan berupa control terhadap ibu hamil (antenatal), persalinan, control setelah melahirkan (post natal), dan pelayanan keluarga berencana. Paket ini berlaku untuk persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, mulai dari Polindes, Puskesmas, dan rumah sakit pemerintah di kelas tiga tanpa ada pembatasan, sedangkan pada tahun 2012, diutamakan persalinan untuk kehamilan pertama dan kedua saja.
Untuk mewujudkan keberpiihakan kepada Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dalam pelayanan kesehatan, Kementrian Kesehatan bekerja sama dengan kementrian terkait seperti kementrian sosial, Kementrian Negara Pemberdayaan Perembuaan dan Perlindungan Anak, Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementrian Pekerjaan Umum, Tentara Nasioanal Indonesi, dan lembaga terkait lainnya ( HYPERLINK "http://www.depkes.go.id" www.depkes.go.id)
Pencapaian Target MDGs dalam Pengendalian Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Revolusi KIA : Upaya yang sungguh- sungguh untuk percepatan penurunan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara-cara yang luar biasa ( Pergub NTT. 42 Tahun 2009, Bab I, Pasal 1 ayat 4). Kematian Ibu di NTT, Surkesnas 2004 dan SDKI 2007, per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKB di NTT : 554-306 = 248, sementara di tingkat nasional adalah sebesar : 307-228 = 79. Itu berarti NTT telah berhasil menurunkan AKI cukup besar,walaupun secara mutlak masih lebih tinggi dari AKI Nasional.
Kematian bayi di NTT berdasarkan Surkesnas 2004 dan SDKI 2007 adalah sebesar 57 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian bayi di NTT dari angka 62 per 1000 kelahiran hidup hingga 57 per 1000 kwlahiran hidup. Artinya, penurunannya mencapai 5 bayi per 1000 kelahiran hidup, yaitu dai 52 per 1000 kelahiran hidup hingga 34 per 1000 kelahiran hidup.
Definisi operasional Revolusi KIA adalah semua ibu melahirkan difasilitas kesehatan yang memadai. Untuk menyukseskan revolusi KIA dibutuhkan ketersidiaan RS atau fasilitass kesehatan yang memadai dan siap 24 jam ; memiliki elemen SDM yang memadai dilihat dari jumlah, jenis, kualitas, dan kompetensi ; memiliki peralatan, perbekalan kesehatan, bangunan, budgeting dan finance, dan sistem manajemen yang memadai. Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) memiliki motto : “1) Persalinan di fasilitas KIA, 2) Datang satu, pulang dua; lebih juga boleh, tidak boleh satu apalagi nol, dan 3) Ibu dan bayi sehat”.
Tabel 2.2 Kriteria Fasilitas Kesehatan yang memadai untuk Puskesmas di NTT dalam rangka pelaksanaan revolusi KIA dari Aspek SDM
Jenis
Jumlah
Kompetensi
Bidan
5
Sudah dilatih APN ( termasuk BBLR,PI,Asphixia) PPGDON, PONED
Perawat
5
Sudah dilatih PONED, BBLR, PI, PPGD/BCLS, Asphixia
Tenaga Kesehatan lainnya
Masing-masing 1
Sesuai kompetensi
Sumber : Seran, 2011 (strategi revolusi. KIA sebagai upaya penurunan AKI dan AKB melalui program Sister Hospital Provinsi NTT. Dalam seminar :Percepatan MDG4 dan MDG5 dengan memperkuat tindakan preventif dan kuratif secara sinergis.
Indikator keberhasilan dalam revolusi KIA dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah indikator keberhasilan antara dan indikator keberhasilan akhir.
Indikator keberhasilan antara:
Jumlah fasilitas kesehatan yang memadai
Pembuatan peraturan-peraturan yang memayungi
Jumlah ibu hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan
Indikator keberhasilan akhir:
Penurunan kematian bayi dan ibu melahirkan sesuai dengan target yang ditetapkan, diharapkan dapat mencapai minimal sama dengan nasional atau lebih rendah dari nasional.
Tenaga Kesehatan/Warga Negara Asing
Peraturan Menteri Kesehatan REpublik Indonesia NOmor 317/Menkes/Per/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan WArga Negara Asing di Indonesia, memuat beberapa ketentuan tentang implementasi kebijakan yang membolehkan masuknya tenaga kerja warga Negara asing di Indonesia. Peraturan mekanisme perizinan dan pengawasannya sudah disiapkan. Hal ini perlu dicermati karena tanpa pengawasan yang memadai, akan membahayakan keselamatan dan kesehatan bangsa Indonesia.
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan tenaga kesehatan warga negara asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia.
Pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan sepanjang terdapat hubungan bilateral antara Republik Indonesia dengan Negara asal TK-WNA yang bersangkutan, dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik dengan Indonesia. TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki sertifikat kompetensi yang diperoleh sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 3,4 dan 5 disebutkan bahwa TK-WNA hanya dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TK-WNA dan dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial; menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai dengan ketentua peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugas dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam IMTA. Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA meliputi : (a) pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan, (b) pemberi pelayanan.
Dalam Pasal 11-12 disebutkan pula bahwa TK-WNA Pemberi Pelayanan hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dan harus melakukan alih teknologi dan pengetahuan, harus memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun. Pasal 23 menyebutkan bahwa TK-WNA berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai standar profesinya sesuai dengan peraturan perundangan. Sebagai konsekuensinya, dalam Pasal 24 diatur bahwa TK-WNA berkewajiban menyampaikan laporan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik kepada organisasi profesi dengan tembusan kepada Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Mekanisme pembinaan dan pengawasan yang diatur dalam Pasal 26 meyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan ini. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan massing-masing dapat mengambil tindakan administrative. Dalam Pasal 27, tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan berupa (a) teguran lisan, (b) teguran tertulis, atau (c) pencabutan izin, antara lain : izin fasilitas pelayanan kesehatan, IMTA, dan/atau STR.
Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksud untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah negera dan pembangunan bangsa. Batasan tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye (1975), dalam Winarno (2007), yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever governments choose to do or not to do)”.
Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan dan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas lainnya umum lainnya (air bersih, listrik) (Suharto 2005). Beberapa konsep kunci yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan publik sebagaimana yang dikemukakan oleh Young dan Quinn dalam Dye (1975), dalam Winarno (2007) antara lain:
Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah dan perwakilan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis, dan financial untuk melakukannya.
Kebijakan publik merupakan sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespons masalah atau kebutuhan konkret yang berkembang dimasyarakat. Oleh karena itu, pada umumnya kebijakan publik merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial.
Merupakan seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yag dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak.
Juga merupakan sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Pengertian kebijakan publik diatas juga selaras dengan batasan yang dikemukakan oleh Knoepfel et all (2007) dalam Solichin (2012), yaitu : Serangkaian tindakan atau keputusan sebagai akibat dari interaksi terstruktur dan berulang di antara berbagai aktor, pihak publik/pemerintah, swasta, privat yang terlibat berbagai cara merespons, mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang secara politik didefinisikan sebagai masalah publik.
Kebijakan Kesehatan
Secara sederhana kebijkan kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Urgensi kebijakan kesehatan sebagai bagian dari kebijakan publik semakin menguat mengingat karakteristik unik yang ada pada sektor kesehatan sebagai berikut:
Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hiudp orang banyak dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak dasar setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya setiap individu yanpa terkecuali berhak mendapatkan askes dan pelayanan kesehatan yang layak apa pun kondisi dan status finansialnya.
Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi “masyarakat-tenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola paternalistik. Artinya, masyarakat atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki posisi tawar yang baik, bahkan hamper tanpa daya tawar atau pun daya pilih.
Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi rakyat. Siapapun ia baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika jatuh sakit tentu akan membutuhkan pelayanan kesehatan.
Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitias, yaitu keuntungan yang dinikmati atau kerugian yang di derita oleh sebagian masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai contoh, jika disuatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat tidak menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang nyamuk Aides aigepty, maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagaian masyarakat tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat lain yang telah menerapkan perilaku hidup bersih.
Dengan karakteristik kesehatan tersebut, pemerintah wajib berperan membuat kebijakan mengenai ssektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan bagi setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO membedakan peran negera dan pemerintah sebagai pelaksana dibidang kesehatan, yaitu pengarah (stewardship atau oversight), regulator ( yang melaksanakan kegiatan regulasi, ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan yang dikenakan regualsi (pemain). Fungsi stewardship atau oversight ini terdiri dari tiga aspek utama :
Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem kesehatan.
Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player) dalam sektor kesehatan.
Menetapkan perencaaan strategic bagi seluruh sistem kesehatan.
World Health Organization (WHO) menetapkan delapan elemen yang harus tercakup dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan kesehatan, yaitu:
Pendekatan holistik, pendekatan dalam kebijakan kesehatan tidak dapat semata-mata mengandalkan upaya kuratif, tetapi harus lebih mempertimbangkan upaya preventif, promotif, dan rehabilitatif.
Partisipatori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan, karena melalui partisipasi masyarakat dapat dibangun collectiveaction (aksi bersama masyarakat) yang akan menjadi kekuatan pendorong dalam pengimplemetasian kebijakan dan penyelesaian masalah.
Kebijakan publik yang sehat, kebijakan harus diarahkan untuk mendukung terciptanya pembangunan kesehatan yang kondusif dan berorientasi kepada masyarakat.
Ekuitas, yaitu terdapat distribusi yang merata dari layanan kesehatan. Artinya negara wajib menjamin pelayanan kesehatan setiap warga negara tanpa memandang status ekonomi dan status sosialnya.
Efisiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi proaktif dengan mengoptimalkan biaya dan teknologi.
Kualitas, dalam menghadapi persaingan pasar bebas dan menekankan pengaruh globalisasi dalam sektor kesehatan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setara dengan pelayanan kesehatan bertaraf internasional.
Pemberdayaan masyarakat, merupakan upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Terutama pada daerah terpencil dan daerah perbatasan untuk mengoptimalkan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Self –reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin dapat memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kapasitas kesehatan di wilayah sendiri.
Sebuah evaluasi telah dilakukan terhadap kualitas formulasi kebijakan publik di dinas kesehatan Inggris, untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan atau kesenjangan yang harus diperbaiki pada prosesnya. Salah satu evaluasinya adalah wawancara yang mendalam yang dilakukan hingga 26 kali dan berlangsung hampir sepanjang tahun 2004.
Wawancara mendalam bertujuan menggali informasi tentang proses penetapan kebijakan dari sisi aktor atau pelaku, ekspektasi mereka serta interaksi yang terjadi antara stakeholder. Studi tersebut kemudia berakhir dengan kesimpulan bahwa telah terjadi praktik formulasi kebijakan terbaik.
Sistem dan Komponen Kebijakan
Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organic untuk mencapai keluaran yang diinginkan secara efektif dan efisiensi (John Mc Manama). Menurut Dunn (1994), sistem kebijakan (policy system) mencakup hubungan timbal balik dari tiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan.
Penjelasan lebih lanjut tentang sistem dan komponen kebijakan publik dikemukakan oleh William Dunn (1994) sebagai berikut.
Isi kebijakan (Policy Content)
Secara umum isi kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang memiliki standar isi sebagai berikut.
Pernyataan tujuan: mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa dampak yang diharapkan.
Ruang lingkup: menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan.
Durasi waktu yang efektif: mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan.
Bagian pertanggungjawaban: mengindikasikan siapa individu atau organisasi mana yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan.
Pernyataan kebijakan: mengindikasikan aturan-aturan khusus atau modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan tersebut.
Latar belakang: mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan kebijakan tersebut, yang kadang-kadang disebut sebagai faktor-faktor motivasional.
Definisi: menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi bagi istilah an konsep dalam dokumen kebijakan.
Aktor atau Pemangku Kepentingan Kebijakan (Policy Stakeholder)
Pemangku kepentingan kebijakan atau aktor kebijakan adalah individu atau kelompok yang berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut. Pemangku kepentingan kebijakan tersebut bisa terdiri dari sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintahan, dan semacamnya.
Lingkungan Kebijakan (Policy Environment)
Lingkungan kebijakan merupakan latar khusus dimana sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh pemangku kepentingan kebijakan serta kebijakan publik itu sendiri.
Istilah lingkungan dalam segitiga sistem kebijakan yang dijelaskan di atas, dalam terminologi yang dikembangkan Walt dan Gilson (1994) disebut sebagai konteks. Konteks ini memiliki peran yang hampir sama dengan lingkungan kebijakan sebagaimana dijelaskan oleh Dunn, yakni faktor yang memberi pengaruh dan dipengaruhi oleh unsur lain dalam sistem kebijakan.
Segitiga Kebijakan
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan sebuah representasi dari kesatuan kompleksitas hubungan antara unsur-unsur kebijakan (konten, proses, konteks, dan aktor) yang dalam interaksinya saling memberi pengaruh. Salah satu unsur dari segitiga kebijakan, yaitu aktor-aktor kebijakan (baik sebagai individu atau kelompok) misalnya dipengaruhi oleh konteks dimana mereka bekerja atau menjalankan perannya. Konteks merupakan rekayasa atau hasil interaksi dinamis dari banyak faktor seperti ideologi atau kebijakan yang berubah-ubah, sejarah, dan nilai budaya. Proses pengembangan kebijakan: bagaimana sebuah isu strategis atau masalah publik diangkat dan menjadi penetapan agenda dalam formulasi kebijakan serta nilai, ekspektasi atau kepentingan aktor-aktor tersebut menjelaskan tentang konteks dalam segitiga kebijakan publik. Oleh karena itu, segitiga kebijakan bermanfaat untuk dapat secara sistematis menganalisis dan mengetahui tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan.
Hierarki Kebijakan Kesehatan
Setiap kebijakan memiliki otoritas atau kewenangannya sendiri.Sejauh mana kewenangan suatu kebijakan dapat diterapkan tergantung dari posisi kebijakan tersebut dalam sebuah hierarki kebijakan. Setiap kebijakan harus memiliki konsistensi dan koherensi dengan kebijakan pada tingkat kewenangan yang lebih luas. Dengan begitu, tidak akan terjadi benturan kebijakan yang dapat menyebabkan sebuah kebijakan tidak dapat dieksekusi.
Berdasarkan Sistem Politik
Menurut konsep Trias Politica, hierarki dalam kebijakan meliputi:
Kebijakan public tertinggi yang dibuat oleh legislatif sebagai representatif dari publik, contoh pembuatan UUD.
Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerja sama antara legislatif dengan eksekutif. Contohnya adalah peraturan daerah di tingkat provinsi.
Kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, yaitu kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan kebijakan public yang bersifat umum yang dibuat legislatif (UUD) dan yang melalui kerja sama dengan eksekutif (UU).
Indonesia memiliki hierarki dasar hokum yang harus ditaati dan menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan public di Indonesia, mengacu pada UU NO.12 Tahun 2011 mengenai Pembentuka Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
Produk Perundangan
Undang-Undang
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hak ikhwal kepentingan yang memaksa.
Peraturan Pemerintah
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden.
Peraturan Daerah
Peraturan perundang-undangan yang disusun oleh DPRD (Tingkat I dan II) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Berdasarkan Wilayah Geografis Otoritas Pembuat Kebijakan
Kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah memiliki kewenangan berdasarkan wilayah kerja tertentu. Wilayah kerja tersebut biasanya terkait dengan wilayah geografis otoritas pembuat kebijakan. Contohnya kebijakan nasional yang berarti berlaku untuk seluruh penduduk dan sistem pemerintahan dibawah pemerintahan pusat negara, kebijakan provinsi yang berarti harus diimplementasikan pada seluruh pemerintahan di provinsi terkait, kota/kabupaten serta level pemerintahan yang lebih rendah berikutnya.
Berdasarkan Isi, Waktu, dan Prioritas Penetapan Kebijakan
Salah satu dasar dalam menentukan hierarki kebijakan dapat dibedakan melalui isi dari kebijakan tersebut:
Kebijakan Utama, adalah kebijakan dasar yang belum diturunkan.
Kebijakan Turunan, yang telah diturunkan dari sebuah kebijakan utama. Misalnya, kebijakan penangulangan angka kematian ibu dapat diturunkan menjadi kebijakan peningkatan gizi ibu hamil. Selain itu, kebijakan juga dapat dibedakan berdasarkan waktu antara lain:
Kebijakan Jangka Panjang
Berdurasi lebih dari lima tahun misalnya dua puluh lima tahun, biasanya dibuat di tingkat nasional, misalnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) bidang kesehatan.
Kebijakan Jangka Menengah
Berdurasi antara lima hingga sepuluh tahun, bias dibuat di tingkat provinsi maupun kabupaten kota, misalnya Renstra (Rencana Strategis).
Kebijakan Jangka Pendek
Kebijakan Jangka Pendek memiliki durasi sekitar satu tahun.Biasanya berupa program yang menjadi implementasi dari kebijakan pada hierarki lebih tinggi.
Kebijakan Kesehatan di Beberapa Negara
Inggris adalah salah satu negara anggota Uni Eropa yang mempunyai model layanan kesehatan yang dikagumi dunia. Inggris tetap dapat memelihara akses layanan kesehatan bebas biaya dan pada saat yang sama mengembangkan ekonomi terbuka. Kondisi tersebut bertentangan dengan pendapat umum bahwa dengan ekonomi terbuka membuat layanan kesehatan menjadi tidak bisa disediakan. Layanan kesehatan Inggris, yang dinamai national Health Service (NHS), ditetapkan dengan National Health Act (1948).
Semua jenis layanan kesehatan adalah cuma-cuma, dokter dan tenaga medis lainnya pun dibiayai oleh negara.Di setiap dukuh (Country) atau di setiap kotapraja (municipalities) pasti ada layanan oleh tenaga medis umum (atau yang disebut general practitioners) dan dengan fasilitas umum (primary care).Di Indonesia dapat dianalogikan dengan puskesmas tapi dalam jumlah yang lebih banyak dan tidak harus berupa klinik (Tim Peneliti PSIK, 2008).
Namun demikian, sejak awal pendirian NHS, cukup sulit untuk menjaga keseimbangan pembiaan kesehatan di inggris. Selain karena ‘pemyakit juga berkembang’, tingkat konsumsi masyarakat pasti akan yerus naik dengan adanya layanan yang tersedia. Salah satu arsitek pemting negara kesejahteraan inggris, Aneurin Bevan, berujar bahwa konsumsi kesehatan adalah faktor yang membuat keseimbangan keuangan negara goyah.jadi, yang dilakukan inggris adalah mengembangkan model asuuransi dan pemajuan ekonomi ( karena biaya kesehatan adalah hasil dai revenue negara). Pengembangan ini sampai sekarang cukup berhasil.
Perbandingan berikut memaparkan model layanan kesehatan di beberapa negara (lihat tabel 2.1).
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, masalah kesehatan dan kependudukan serta tingkat konsumsi atas layanan kesehatan, maka presentase anggaran kesehatan atas GDP (gross domestic product) inggris mengalami peningkatan sejak NHS mulai ditetapkan dan berjalan.
Selain dari inggris, kita juga dapat belajar dari kuba. Di kuba, kebijakan kesehatan adalah sesuatu yang dianggap sangat penting sehingga pemerintahnya memastikan bahwa rakyat mendapatkan hak yang sama dalam pelayanan kesehatan. Hasilnya, angka kematian penduduknya berhasil turun dari 60 ke 14 per 1.000 dalam kurun waktu antara tahun 1954-1980 (barker, 1996).
Tabel 2.1. Perbandingan Model Layanan Kesehatan di Beberapa Negara
Kriteria
General Taxation
(Inggris)
Social Insurance
(Germany)
Private Insurance
(Amerika Serikat)
Makro Efisiensi
Global, anggaran dengan tunai terbatas
Control biaya kuat.
Sistem yang bergantung pada permintaan control biayalemah.
Anggaran global dengan control biaya yang kuat.
Transparansi pembayaran yang meningkatkan kesadaran pengguna/ pembayar
Bergantung pada permintaan dan tidak ada anggaran global.
Kontrol biaya lemah
Mikro Efisiensi
Biaya administrasi kecil
Intensif kerja bergantung pada bentuk perpajakan
Asuransi berlapis dan dana orang sakit meningkatkan biaya administrasi
Pajak bagi tenaga kerja (tax on employment)
Asuransi berlapis membuat biaya transaksi dan administrasi menjadi tinggi
Asuransi berdasar tenaga-kerja menjadi pajak bagi tenaga kerja
Tingkat Kesetaraan (Equity)
Mencakup semua warga tanpa terkecuali
Pembayaran terkait dengan kemampuan membayar sebagaimana ditetapkan melalui sistem pajak
Cakupan hampir universal (near to universal coverage)
Pembayaran terkait dengan kemampuan untuk membayar
Dapat lebih atau kurang progesif daripada sistem berdasar pajak (tax based system)
Ada jurang besar dalam soal cakupan
Pungutan/ kontribusi berdasarkan tingkat risiko dan bukan kemampuan membayar. Lebih tinggi risiko, lebih tinggi pembayaran
Pilian (choice)
-Tidak ada pilihan dalam soal tingkat kontribusi
- Pilihan sedikit dalam soal tingkat pungutan/ kontribusi, tetapi pada dasarnya ada beberapa pilihan antara penyedia asuransi
- Banyak pilihan dalam soal asuransi premium (tingkat atas) dan paket tunjangan/ manfaat yang terkait.
Transparansi
Kaitan antara pajak pembayaran dengan pengeluaran dalam layanan kesehatan
Ada pajak yang di patok (earmarked) menjadi sebuah kaitan antara pembayaran dan pengeluaran dalam layanan kesehatan
Kaitan yang amat erat pembayaran dengan tunjangan/ manfaat individu.
Sumber: Diadaptasi dari Robinson, et al. (1994)
Kebijakan Kesehatan di Indonesia
Reformasi Kesehatan dan Perubahan Struktur Kementerian Kesehatan
Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan Tujuh Reformasi Pembangunan Kesehata yaitu: 1) revitalisasi pelayanan kesehatan, 2) ketersediaan, distribusi, retensi, dan mutu sumber daya manusia, 3) ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan, 4) jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi, dan 7) world class health care.
Dalam upaya pelayanan kesehatan pada tahun 2011, diutamakan pelayanan berbasis masyarakat dengan menekankan upaya promotif dan preventif. Tidak mungkin melakukan pelayanan kesehatan menunggu orang sampai jatuh sakit, karena hal itu akan menghabiskan biaya yang besar. Selain itu, juga menekankan pencegahan penyakit tidak menular yang disebabkan pola makan dan pola hidup yang tidak sehat, tanpa meninggalkan pengendalian penyakit menular yang masih belum hilang. Peningkatan pelayanan kesehatan primer dan rujukan di rumah sakit daerah maupun pusat juga menjadi upaya penting lainnya.Untuk pemerataan kebutuhan tenaga kesehatan secara elektronik, sehingga dapat diketahui seberapa besar kebutuhan baik jumlah maupun jenisnya, dengan harapan tujuan pemenuhan kebutuhan SDM Kesehatan dapat dilakukan secara cepat. Untuk memenuhi kebutuhan SDM jangka pendek dilaksanakan program sister hospitals, yaitu program kerja samaantara rumah sakit yang lemah dengan rumah sakit yang lebih maju, sehingga terjadi proses pembelajaran tenaga kesehatan, sedangkan dalam jangka menengah, dilakukan program dokter plus yaitu dokter umum diberi keterampilan tambahan spesialis. Program dokter plus ini diutamakan di wilayah Indonesia Timur. Program jangka panjang dengan memberikan beasiswa dokter dari daerah untuk mengikuti pendidikan spesialis
Dalam memantapkan posisi obat generic akan diupayakan peningkatan pengawasan agar mutu tetap terjaga, harga terjangkau, dan distribusi merata. Untuk mendukung monitoring penggunaaan obat generic akan digulirkan E-logistic. Selain itu, juga diselenggarakan E-Prescription untuk mengawasi penulisan resep obat generic oleh dokter di pelayanan kesehatan pemerintah. Untuk memantapkan program jaminan kesehatan dasar, diupayakan sistem pembiayaan menjadi satu sistem nasional, dengan menerapkan paket benefit dasar, perhitungan biaya dan besaran premi yang sama, baik yang di bayar PT Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dan PT Jamsostek, sehingga tidak ada perbedaan pelayanan kesehatan. Untuk mendukung program tersebut, telah ditetapkan UU tentang Badan Pengelolah Jaminan Sosial (BPJS) beserta kelengkapan dasar hukum dan pedomannya. Tahun 2011 diberlakukan program jaminan persalinan (Jampersal) yang merupakan pelayanan paket kesehatan berupa control terhadap ibu hamil (antenatal), persalinan, control setelah melahirkan (post natal), dan pelayanan keluarga berencana. Paket ini berlaku untuk persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, mulai dari Polindes, Puskesmas, dan rumah sakit pemerintah di kelas tiga tanpa ada pembatasan, sedangkan pada tahun 2012, diutamakan persalinan untuk kehamilan pertama dan kedua saja.
Untuk mewujudkan keberpiihakan kepada Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dalam pelayanan kesehatan, Kementrian Kesehatan bekerja sama dengan kementrian terkait seperti kementrian sosial, Kementrian Negara Pemberdayaan Perembuaan dan Perlindungan Anak, Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementrian Pekerjaan Umum, Tentara Nasioanal Indonesi, dan lembaga terkait lainnya ( HYPERLINK "http://www.depkes.go.id" www.depkes.go.id)
Pencapaian Target MDGs dalam Pengendalian Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Revolusi KIA : Upaya yang sungguh- sungguh untuk percepatan penurunan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara-cara yang luar biasa ( Pergub NTT. 42 Tahun 2009, Bab I, Pasal 1 ayat 4). Kematian Ibu di NTT, Surkesnas 2004 dan SDKI 2007, per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKB di NTT : 554-306 = 248, sementara di tingkat nasional adalah sebesar : 307-228 = 79. Itu berarti NTT telah berhasil menurunkan AKI cukup besar,walaupun secara mutlak masih lebih tinggi dari AKI Nasional.
Kematian bayi di NTT berdasarkan Surkesnas 2004 dan SDKI 2007 adalah sebesar 57 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian bayi di NTT dari angka 62 per 1000 kelahiran hidup hingga 57 per 1000 kwlahiran hidup. Artinya, penurunannya mencapai 5 bayi per 1000 kelahiran hidup, yaitu dai 52 per 1000 kelahiran hidup hingga 34 per 1000 kelahiran hidup.
Definisi operasional Revolusi KIA adalah semua ibu melahirkan difasilitas kesehatan yang memadai. Untuk menyukseskan revolusi KIA dibutuhkan ketersidiaan RS atau fasilitass kesehatan yang memadai dan siap 24 jam ; memiliki elemen SDM yang memadai dilihat dari jumlah, jenis, kualitas, dan kompetensi ; memiliki peralatan, perbekalan kesehatan, bangunan, budgeting dan finance, dan sistem manajemen yang memadai. Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) memiliki motto : “1) Persalinan di fasilitas KIA, 2) Datang satu, pulang dua; lebih juga boleh, tidak boleh satu apalagi nol, dan 3) Ibu dan bayi sehat”.
Tabel 2.2 Kriteria Fasilitas Kesehatan yang memadai untuk Puskesmas di NTT dalam rangka pelaksanaan revolusi KIA dari Aspek SDM
Jenis
Jumlah
Kompetensi
Bidan
5
Sudah dilatih APN ( termasuk BBLR,PI,Asphixia) PPGDON, PONED
Perawat
5
Sudah dilatih PONED, BBLR, PI, PPGD/BCLS, Asphixia
Tenaga Kesehatan lainnya
Masing-masing 1
Sesuai kompetensi
Sumber : Seran, 2011 (strategi revolusi. KIA sebagai upaya penurunan AKI dan AKB melalui program Sister Hospital Provinsi NTT. Dalam seminar :Percepatan MDG4 dan MDG5 dengan memperkuat tindakan preventif dan kuratif secara sinergis.
Indikator keberhasilan dalam revolusi KIA dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah indikator keberhasilan antara dan indikator keberhasilan akhir.
Indikator keberhasilan antara:
Jumlah fasilitas kesehatan yang memadai
Pembuatan peraturan-peraturan yang memayungi
Jumlah ibu hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan
Indikator keberhasilan akhir:
Penurunan kematian bayi dan ibu melahirkan sesuai dengan target yang ditetapkan, diharapkan dapat mencapai minimal sama dengan nasional atau lebih rendah dari nasional.
Tenaga Kesehatan/Warga Negara Asing
Peraturan Menteri Kesehatan REpublik Indonesia NOmor 317/Menkes/Per/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan WArga Negara Asing di Indonesia, memuat beberapa ketentuan tentang implementasi kebijakan yang membolehkan masuknya tenaga kerja warga Negara asing di Indonesia. Peraturan mekanisme perizinan dan pengawasannya sudah disiapkan. Hal ini perlu dicermati karena tanpa pengawasan yang memadai, akan membahayakan keselamatan dan kesehatan bangsa Indonesia.
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan tenaga kesehatan warga negara asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia.
Pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan sepanjang terdapat hubungan bilateral antara Republik Indonesia dengan Negara asal TK-WNA yang bersangkutan, dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik dengan Indonesia. TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki sertifikat kompetensi yang diperoleh sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 3,4 dan 5 disebutkan bahwa TK-WNA hanya dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TK-WNA dan dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial; menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai dengan ketentua peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugas dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam IMTA. Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA meliputi : (a) pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan, (b) pemberi pelayanan.
Dalam Pasal 11-12 disebutkan pula bahwa TK-WNA Pemberi Pelayanan hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dan harus melakukan alih teknologi dan pengetahuan, harus memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun. Pasal 23 menyebutkan bahwa TK-WNA berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai standar profesinya sesuai dengan peraturan perundangan. Sebagai konsekuensinya, dalam Pasal 24 diatur bahwa TK-WNA berkewajiban menyampaikan laporan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik kepada organisasi profesi dengan tembusan kepada Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Mekanisme pembinaan dan pengawasan yang diatur dalam Pasal 26 meyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan ini. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan massing-masing dapat mengambil tindakan administrative. Dalam Pasal 27, tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan berupa (a) teguran lisan, (b) teguran tertulis, atau (c) pencabutan izin, antara lain : izin fasilitas pelayanan kesehatan, IMTA, dan/atau STR.
Komentar
Posting Komentar